NAMA Iwan Jaya Azis sudah tak asing di telinga para birokrat,
pengusaha, apalagi ekonom Indonesia. Ahli matematika ekonomi dan
ekonomi regional ini adalah Guru Besar Cornell University, Amerika
Serikat dan Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia (UI). Bulan Juli 2010,
Iwan diangkat sebagai Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional Bank
Pembangunan Asia (ADB) hingga kini.
Apa pandangannya
tentang ambruknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar
rupiah, termasuk sektor keuangan di sejumlah negara Asia? Iwan
Purwantono dari InilahREVIEW dan beberapa wartawan lain
mewawancarai lelaki kelahiranSurabaya, 17 Februari 1953, ini seusai
diskusi bersama pelaku pasar yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
di Jakarta, Kamis pekan lalu. Petikannya:
Nilai tukar rupiah dan IHSG terus melemah, termasuk defisit neraca perdagangan yang semakin membengkak. Apa komentar Anda?
Untuk
menghindari dari itu (krisis), kebijakannya memang bermacam-macam. Ya,
semua sangat bergantung kepada pemerintah. Kalau ini saya tidak tahu.
Saya lebih mendalami perekonomian negara lain, seperti Korea dan China.
Apakah krisis 1998 bisa terulang?
Kalau
pemerintah tidak berhati-hati, bisa saja krisis moneter 1998 terulang.
Saya kira, pemerintah sudah mempersiapkan langkah-langkahnya. Kita
tunggu saja.
Beberapa negara di Asia, seperti Indonesia,
Thailand, dan India mengalami defisit neraca berjalan dan jumlahnya
cukup besar. Komentar Anda?
Ketiga negara itu, masalahnya
memang mirip-mirip. Nilai tukarnya terpuruk. Namun yang paling parah
adalah India dengan ruppe-nya. Nilai tukarnya anjlok besar-besaran.
Korea,
berbeda lagi. Masalah ekonominya akibat kredit rumah tangga yang sangat
besar. Volumenya jauh lebih besar dibandingkan utang Yunani. Yang ingin
saya katakan, perekonomian negara-negara di Asia seperti
Indonesia,Thailand, India, dan Korea, cukup spesifik. Mereka memiliki
fase krisis yang berbeda. Tentu saja, penanganannya juga berbeda.
Apa dampak dari pelemahan ekonomi di Asia?
Yang
jelas, pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia mulai meredup. Dalam
catatan saya, tiga bulan terakhir ini, terjadi penurunan sampai 50%.
Asia sudah bukan lagi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.
Apa penyebabnya? Apakah karena salah urus atau ada faktor eksternal?
Tentu,
ada kaitannya dengan perkembangan di AS dan Eropa. Kalau Eropa, kita
semua sudah tahu. Sedangkan AS, terkait kebijakan The Fed selaku bank
sentral di sana. Apalagi kalau bukan rencana penghentian pelonggaran
kuantitatif atau quantitative easing (QE).
Kalau AS jadi menghentikan QE, apakah perekonomian banyak negara bakal rontok?
Saya kok tidak yakin. Karena, Pemerintah AS belum pernah menjalankannya. Jadi, agak sulit memprediksinya. Bahkan boleh dibilang unpredictable.
Bank sentral AS tidak bisa menetapkan kapan dimulainya penghentian QE
dan pengurangan stimulusnya berapa. Saya kira, semuanya masih belum
jelas.
Tapi, Chairman The Fed Ben Bernanke sudah mengatakan akan mengakhiri QE sampai 2014.
The
Fed yang biasanya memborong obligasi senilai US$ 85 miliar tiap bulan,
kemudian mau dikurangi menjadi US$ 60 miliar. Tapi, saya kok masih belum
bisa yakin. Demikian pula kabar bahwa stimulus The Fed bakal distop
sampai 2014, belum yakin juga. Bank sentral Amerika kelihatannya masih
bingung. Ya termasuk itu, Bernanke.
Artinya, pencabutan QE
dilakukan setelah AS terbebas dari krisis. Kalau sekarang, apakah AS
sudah bisa dibilang bebas dari krisis?
Saya kira belum
sepenuhnya. Karena indikatornya belum tercapai. Misalnya, disebut bebas
dari krisis kalau angka inflasinya 2% serta jumlah penganggurannya di
bawah 6%. Nah, kondisi tersebut belum terjadi.
Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di majalah InilahREVIEW edisi ke-01 tahun ke-03 yang terbit, Senin, 26 Agustus 2013.
No comments:
Post a Comment