Persoalan korupsi di bumi Indonesia adalah catatan sejarah
yang terus berulang. Sejak 1799 bermula dari asosiasi dagang VOC
(Verenigde Oost Indische Compagnie) yang kemudian diplesetkan menjadi
Verhaan Onder Corruptie, hingga sekarang korupsi terus menggelora.
Bahkan
pada 12 Desember 1642 Gubernur Jendral Antonio Van Diemen bahkan
menyurati Heeren XVII tentang parahnya korupsi yang terjadi di tubuh
VOC. Berbagai upaya untuk memberantas korupsi di dalam tubuh asosiasi
dagang ini tak berhasil. Sehingga tak jarang dikatakan bahwa korupsi
saat itu sudah menjadi suatu kenyataan hidup.
Layaknya
zaman VOC dunia migas Indonesia nampaknya juga tidak jauh dari persoalan
korupsi ini. Yang terbaru SKK Migas menjadi sorotan akhir-akhir ini
karena ketuanya Rudi Rubiandini ditangkap tangan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap dari pihak
swasta, Kernel Oil Pte Ltd. Ikut ditangkap dua orang lain dari pihak
swasta tersebut, yakni Simon Gunawan dan Deviardi.
Komisaris
PT Kernel Oil Private Limited (KOPL) Simon G Tanjaya, melalui
pengacaranya, Junimart Girsang, mengaku menggelontorkan sejumlah uang
demi memuluskan rencana PT KOPL untuk berekspansi ke kegiatan hulu
minyak dan gas.
Simon mengaku menyerahkan uang kepada
Deviardi, alias Ardi, pelatih golf Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini, senilai
total US$700.000.
Ibarat gunung es, penangkapan Rudi
Rubiandini dalam kasus dugaan suap hanyalah sepotong pembenaran adanya
mafia minyak dan gas (migas). Yang masih terselubung jauh lebih besar
dan itulah tugas Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membuatnya menjadi
kasatmata.
Keberhasilan KPK menangkap dan menetapkan mantan
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi itu sebagai tersangka ialah cerita sukses. Sukses besar lantaran
tak cuma uang yang disita merupakan yang terbesar sepanjang sejarah KPK,
tetapi juga kali pertama patgulipat di sektor migas bisa diungkap.
Total duit yang disita KPK US$1,1 juta plus S$127 ribu.
Melalui
Surat Terbuka yang konon ditulis oleh Rudi, kendati surat ini masih
simpang siur kebenarannya, kita dikesankan bahwa mafia migas dan kartel
politik beroperasi bersamaan untuk menjerat pejabat untuk mendapat
“rente”.
Motif penerimaan US$700.000 dikatakan disamping aspek
kepentingan pribadi, ada juga aspek kepentingan politik. Kepentingan
yang disebut terakhir dinilai jauh lebih dominan bagi tokoh-tokoh
sekaliber Rudi.
Semua tokoh yang terjerat kasus suap, rata-rata
dipandang untuk menutupi biaya politik tinggi. Korupsi politik ini
menjadi modus operandi dari sejumlah kasus korupsi yang melibatkan para
tokoh, baik di jajaran eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Dalam
kasus Rudi, Komite Konvensi Capres Demokrat segera membantah, dana Rudi
mengalir ke acara audisi capres partai penguasa tersebut. Hinca
Panjaitan, anggota komite itu, membantah aliran dana suap SKK Migas ke
konvensi. Keberadaan Taufiqurrahman Rukie dalam komite, sebagai mantan
Ketua KPK dan Pimpinan BPK, adalah jaminan bahwa sumber dana konvensi
itu halal.
Pemisahan persoalan ekonomi dan politik harus
mendapatkan sempadan yang jelas. Proses hukum yang tengah berjalan
hendaknya tidak dipolitisasi. Kita mendukung upaya setiap aparat penegak
hukum untuk mengungkap kasus korupsi di dunia migas Indonesia.
Hipotesis
politik yang mengait-kaitkan korupsi SKK migas dengan Konvensi Capres
boleh-boleh saja untuk tetap menjaga agar masyarakat ikut mengawasi
persoalan ini. Namun yang lebih penting adalah kita harus mengedepankan
logika hukum yang ada.
Yohanes Wawengkang
Jl. Margonda Raya, No. 46, Depok, Jawa Barat
joewawengkang@gmail.com
No comments:
Post a Comment