JAKARTA - Kasus pembatalan tausiah secara sepihak yang dilakukan Ustadz Solmed semakin memanas. Yang terkini, muncul sebuah surat terbuka yang ditujukan untuk Solmed.
Surat
tersebut ditulis oleh seseorang bernama Rihanu Alifa, yang mengaku
sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Hong Kong. Dia
merasa sakit hati dengan kicauan Solmed di Twitter yang menaruh curiga ada unsur komunis dalam kisruh tersebut.
Berikut isi suratnya:
Kepada Yth :
Ustaz Solmed
Ustaz
Solmed yang terhormat, saya adalah salah satu TKI Hong Kong yang
terluka dengan pernyataan ustaz di twitter yang mencurigai kami (TKI
Hong Kong) sebagai jaringan dari komunis. Saya (masih) memaklumi jika
ustaz memasang tarif saat diundang untuk berceramah.
Itu hak
ustaz. Pun, saya juga mengerti jika ustaz membela diri ketika ustaz
dituding menaikkan tarif saat diminta ceramah di Hong Kong, terlepas
dari benar atau tidaknya argumen yang ustad sampaikan. Namun, ketika
ustad "berkicau" di twitter dengan menyatakan kecurigaan bahwa TKI Hong
Kong merupakan bagian dari jaringan komunis, maka saya sebagai bagian
dari TKI Hong Kong merasa terluka, teriris hati saya mendengar hal ini.
Saya
suka menulis, saya menyampaikan hal ini melalui tulisan dan
mem-broadcastnya di sosmed bukan untuk mencari sensasi, apalagi
popularitas. Ini adalah suara hati saya. Sedih tak terkira saya melihat
seorang ustad "memerangi" saudara seagamanya dengan bersenjatakan media.
Miris, melihat dan mendengar pemberitaan beberapa media yang
menurunkan berita timpang (tidak balance, hanya memaparkan berita dari
pihak ustad Solmed, tidak berusaha melakukan cross check dengan pihak EO
di Hong Kong).
Secara pribadi, saya tidak ada dendam dengan
ustad. Saya pertama kali melihat ustazmelalui tayangan sinetron di
televisi (saya lupa judulnya). Tayangan itu saya saksikan melalui
internet. Saya bukan pecinta sinetron, hanya saja saya tertarik
menyaksikan sinetron tersebut karena ada Maher Zain yang ikut syuting di
dalamnya (sewaktu dia berkunjung ke Indonesia).
Sebagai TKI
Hong Kong, saya memang mengikuti perkembangan konflik ustad dengan salah
satu event organizer (EO) di Hong Kong yang mengundang ustad untuk
berceramah. Namun, saya tak ikut ambil pusing.
Saya bukan bagian
dari EO tersebut, dan (tadinya) saya pikir, perselisihan ustad dengan
EO tersebut dapat menemui titik temu (damai). Tetapi, semakin lama,
ustad semakin membuat pernyataan yang tidak-tidak, bahkan cenderung
memfitnah. Di infotainment, ustad menyebut angka Rp150 juta yang bakalan
dikeruk oleh EO di Hong Kong dari penjualan tiket masuk yang dijual
kepada para jamaah.
Izinkan saya bertanya, dari mana ustaz dapatkan angka fantastis tersebut?
Hampir
tujuh tahun saya di Hong Kong dan selama empat tahun terakhir ini saya
berkecimpung dalam organisasi yang kadang menjadi EO suatau acara dengan
mengundang bintang tamu artis dari Indonesia.
Sedikit banyak,
saya tahu seluk-beluk penyelenggaraan acara di Hong Kong. Untuk gedung
di Sheung Wan yang rencananya akan dipakai untuk acara yang sedianya
akan ustad hadiri tersebut, setidaknya sudah tiga kali saya memasukinya.
Gedung tersebut merupakan ruangan berbentuk L yang kapasitasnya
(menurut pengamatan orang awam seperti saya), hanya muat untuk 500
orang (itu juga kalau dijejal-jejal).
Jika tiket masuk dijual
seharga 50 (Hong Kong dolar), dan pengajian diadakan dua sesi, maka
hasil dari penjualan tiket adalah : 50 x 1000 orang = 50.000 (Hong Kong
dolar).
Kurs saat ini : HK$ 1 = Rp. 1300 (kurang lebih, karena
kurs naik turun). Jadi, jika ustazmenyebut angka 150 juta rupiah, maka
saya katakan hal tersebut adalah AJAIB (kalau tak mau dikatakan OMONG
KOSONG).
Lagipula, angka HK$50. 000 itu dengan asumsi bahwa
tiket terjual habis (sold out)*. Pada kenyataanya, tidak semua tiket
bisa terjual habis.
Dan uang sejumlah itu bisa dikatakan sangat
pas-pasan untuk membiayai sebuah acara di Hong Kong. Ini berdasarkan
pengalaman saya selama bergelut dalam organisasi Forum Lingkar Pena Hong
Kong.
Perlu ustaz ketahui, pengajian di Hong Kong dengan menjual
tiket (entah itu HK$20, 50, atau 100) itu sudah lazim di kalangan
tenaga kerja Indonesia di Hong Kong ini.
Di Hong Kong ini,
memakai mesjid atau gedung TIDAK BISA GRATIS. Minimal perlu HK$ 4.000
untuk sewa satu gedung (ini harga sewa gedung di pelosok, kalau di pusat
kota minimal bisa dua kali lipatnya).
Belum lagi sewa sound
systemnya (tidak mungkin ‘kan ustad teriak-teriak atau lari sana-sini
agar suara ustad dapat didengar oleh jamaah yang hadir).
Harga
sewa sound system bisa berkisar HK$ 5.000 ke atas. Belum lagi ditambah
biaya pembelian tiket pesawat untuk ustad dan manajer ustad, biaya
hotel, konsumsi,transportasi, dll. Jika pun acara dilaksanakan di tempat
terbuka, seperti lapangan Victoria Park, itu juga harus ada izin dari
pengelolanya.
Setidaknya, penyelenggara acara harus membayar uang
asuransi pada pengelola taman jika ingin menggunakan area tersebut. Hal
ini saya ketahui saat mencari info tentang penggunaan lapangan rumput
dan tenda putih atas Victoria Park.
Dan lebih fantastis lagi,
sound system kalau untuk outdoor seperti di lapangan Victoria Park,
harga sewanya bisa mencapai belasan juta rupiah. Jadi, jika ustad
mengatakan bahwa dakwah ustad dijadikan lahan bisnis oleh EO di Hong
Kong, saya sangat meragukan hal ini.
Karena, yang saya tahu,
jika pun acara pengajian itu memperoleh keuntungan dari penjulan tiket
serta dana dari kotak amal (yang diedarkan saat pengajian berlangsung),
maka dana tersebut tidak akan masuk ke kantong panitia penyelenggara,
melainkan disumbangkan ke Indonesia, entah itu untuk pembangunan masjid,
pesantren, dll.
Mengenai hal ini, mungkin ustaz bisa bertanya
pada EO yang mengundang ustaz, berapa pondok pesantren yang sudah mereka
biayai dari uang sisa yang didapat dari acara pengajian yang mereka
adakan.
Ustad akan lebih tercengang lagi, jika melihat fakta
bahwa begitu banyak mujahidah di Hong Kong ini yang rela berpanas-hujan
menjual majalah, meminjamkan buku melalui perpustakaan lesehan, menjual
buku, dll demi mendapat keuntungan 1 atau 2 dolar yang mereka kumpulkan
untuk kemudian disumbangkan ke Indonesia.
Bayangkan, mereka rela
berlelah-lelah di hari yang seharusnya menjadi hari libur mereka. Saya
sendiri pun pernah mengalaminya, menggeret-geret koper besar berisi
buku-buku untuk dipinjamkan.
Uang penyewaan buku hanya numpang
lewat di tangan saya,untuk kemudian disumbangkan ke Indonesia. Jika
ustad mengatakan bahwa seluruh biaya yang saya sebutkan itu (tiket
pesawat, hotel, dll) sudah ditanggung oleh sponsor, maka silakan
disebutkan siapa saja sponsor acara tersebut, berapa banyak uang yang
mereka berikan sehingga bisa mengcover seluruh biaya tersebut?
Setahu
saya, untuk satu event semisal pengajian, 3 atau 4 sponsor saja itu
belum tentu ada, karena kini semakin banyak organisasi TKI di Hong Kong,
banyak acara yang bisa mereka pilih untuk didukung.
Satu sponsor
saja, biasanya member support materi yang tidak begitu banyak, sekitar
HK$500 – HK$ 2.000, sangat jauh untuk bisa menutup biaya-biaya yang
harus dikeluarkan.
Saya berbicara berdasarkan fakta. Menurut
pengalaman saya dalam mencari dana dari sponsor, kadang dana dari
sponsor tidak diberikan dalam bentuk tunai, tapi berupa barang yang
harus dijual, jadi tidak berbentuk cash money.
Well, dua
pertanyaan itu (dari mana angka 150 juta itu ustad dapat dan sponsor
mana yang mau mendanai penuh acara yang akan ustad hadiri), akan
membuktikan kebenaran dari ucapan ustad.
Mari bicara fakta, atau
diam jika hanya menimbulkan fitnah, menyakiti kami (TKI Hong Kong) yang
ustad sebut sebagai “saudara”. Sekali lagi, saya sangat maklum jika
benar ustad memasang tariff dan meminta fasilitas ini-itu pada panitia.
Saya juga tidak menyalahkan jika ustad (mungkin) berbohong di media
untuk menjaga reputasi ustad. Itu manusiawi.
Silakan saja, dosa
ditanggung ustad sendiri. Namun, jika konfliknya melebar sampai ustad
koar-koar di twitter dengan menyatakan kecurigaan bahwa TKI Hong Kong
adalah jaringan dari komunis, itu sudah keterlaluan.
Curiga
boleh saja, tapi tak harus berkicau di sosmed tanpa fakta, tanpa
tabayyun, karena itu semua akan menjadi fitnah yang lebih kejam dari
pembunuhan.
Untuk media-media di Indonesia Di Indonesia, mungkin
nama ustad Solmed sangat layak jual. Sehingga otomatis, berita yang
menyangkut dirinya akan menarik bagi masyarakat.
Namun, setahu
saya setiap berita yang diturunkan haruslah berimbang, tidak boleh hanya
dari satu sisi saja. Meskipun narasumber berita jauh, wartawan harus
tetap mengusahakan untuk mewawancarainya meski hanya melalui saluran
telefon.
Jika si narasumber tidak dapat dihubungi, maka hal
tersebut juga harus disampaikan kepada masyarakat, bahwa si wartawan
sudah berusaha menghubungi, namun hingga saat berita diturunkan,
narasumber belum memberikan jawaban.
Silakan menghubungi dan
mewawancarai langsung EO yang mengundang ustad Solmed ke Hong Kong, agar
berita yang disampaikan pada masyarakat tidak berat sebelah, dan tidak
lebay (saya pernah melihat tayangan infotainment yang menampilan media
yang memuat berita dengan judul “Astaga, tarif ustad Solmed 150 juta”.
Menurut
saya judul tersebut sangatlah lebay karena angka 150 juta tersebut
bukan tarif yang dipatok sang ustad, melainkan angka perkiraan sang
ustad dari penghitungan penjulan tiket yang dijual oleh panitia).
Memang, judul bombastis bisa menaikkan berita, tapi akan merugikan media
sendiri jika judul tak sesuai dengan isi.
Akibatnya, bukan
tidak mungkin media yang seperti itu akan kehilangan kepercayaan dari
masyarakat yang berimbas pada kematian media itu sendiri.
TKI di
Hong Kong mudah dijumpai di jejaring social Facebook. Itulah mengapa,
ketika ustad Solmed koar-koar di Twitter, yang ikut me-retweet dari
kalangan TKI Hong Kong hanya mempunyai beberapa follower, karena memang
TKI Hong Kong hanya sedikit saja yang ber-twitter ria. Kami lebih nyaman
di Facebook karena bisa membaca info-info menarik dari catatan fans
fage, sharing foto, dll, sedangkan twitter tidak memungkinkan hal itu,
karena membatasi penulisan hanya 140 karakter saja.
Untuk
teman-teman TKI/BMI Hong Kong, kita adalah satu tubuh, ketika ada pihak
yang menyakiti bagian dari diri kita, tentu kita akan ikut terluka.
Demikian pula halnya dengan diri saya. Awalnya saya tak ingin angkat
bicara, malas koar-koar di sosmed.
Tetapi, saya melihat beberapa
aktivis BMI HK yang biasanya vocal membela BMI, diam melihat hal ini,
sama sekali tak berkomentar. Dan yang bukan aktivis, ada saja yang
nyinyir dengan mengatakan bahwa pengajian harus gratis lah, salah
panitia ngundangnya artis lah, dll. Untuk yang belum pernah berkecimpung
di organisasi BMI, tentu pernyataan “gratis” tadi wajar saja, karena
ketidaktahuan mereka bahwa tidak ada yang gratis di Hong Kong ini.
Lagipula,
tiket dijual kepada mereka yang bersedia membayar, tak ada paksaan. Pun
dengan kotak amal, tidak ada paksaan untuk mengisinya. Saya ungkapkan
di sini, event pengajian yang diadakan berbagai organisasi BMI di Hong
Kong, tidaklah bertujuan untuk mengeruk untung ataupun dijadikan lahan
bisnis seperti yang dikatakan ustaz Solmed. Saudara-saudara kita
berjuang menegakkan agama islam di negeri non muslim ini.
Jika
pun ada yang membisniskan pengajian, itu adalah oknum, jangan pernah
melakukan generalisir dengan menyebutkan BMI/TKI Hong Kong, karena akan
sangat fatal akibatnya, menjadi fitnah yang menyakiti semua.
Kita
bisa saja memaafkan ustad Solmed atas pernyataannya di twitter yang
mencurigai TKI Hong Kong sebagai komunis, kita juga bisa memboikot ustad
Solmed dengan menganjurkan keluarga kita agar meninggalkan segala
tontonan yang menampilkan ustad Solmed. Kita adalah kekuatan yang besar
jika bersatu. Kita dikatakan komunis, komunis itu tak bertuhan, rela
kita dikatakan demikian?
Untuk teman-teman yang berkecimpung di
organisasi, terutama dalam bidang keagamaan, mari jadikan kasus ini
sebagai pelajaran. Selama ini, mungkin teman-teman tidak pernah membuat
perjanjian (kontrak) tertulis dengan tamu (ustaz/artis) yang akan
diundang.
Belajar dari hal ini, tawarkanlan surat perjanjian
pada tamu yang akan diundang. Jika hal itu dianggap merepotkan, maka
gunakan fasilitas rekam suara di HP. Kita bisa merekam pembicaraan di HP
dengan sang tamu yang akan diundang.
Atau, simpanlah bukti
sms/whatsapp untuk setiap deal yang teman-teman lakukan dengan calon
tamu. Jadi, jika di kemudian hari terjadi konflik seperti ustad Solmed
di atas, teman-teman punya bukti kuat.
Demikian yang ingin saya
ungkapkan. Mohon maaf jika ada pembaca yang kurang berkenan dengan
tulisan saya ini. Silakan diluruskan jika da kekeliruan dalam tulisan
saya ini.
Saya Rihanu Alifa, saya TKI Hong Kong, tidak kenal ustad
Solmed, juga tidak kenal dengan organisasi TKI Hong Kong yang berseteru
dengannya. Saya tidak memihak siapapun.
Saya menuliskan hal ini
karena bagaimanapun juga, saya adalah bagian dari TKI Hong Kong yang
akan terluka jika nama TKI Hong Kong dinodai. Yang benar hanya dari
Allah. Semoga tulisan saya ini bermanfaat dan ada hikmah yang dapat
dipetik di dalamnya, tidak menjadi ghibah, apalagi fitnah.
Shatin, 17 Agustus 2013
Salam santun,
Rihanu Alifa.
No comments:
Post a Comment