SOLO - Tak mudah mencari saksi yang merasakan saat
Surakarta menjadi Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Melalui informasi
dari salah satu kerabat Mangkunegaran, Okezone, menemukan salah salah satu saksi sejarah saat Surakarta masih berbentuk DIS.
Saksi
sejarah itu bernama Soehari Soemartono (86) warga RT 01/01 Sangkrah,
Pasar Kliwon, Kota Solo, Jawa Tengah. Awalnya, perempuan keturunan Pura
Mangkunegaran itu enggan berbagi cerita saat Surakarta masih berbentuk
DIS selama sembilan bulan.
Meski usianya sudah lanjut, namun
istri pendiri topografi milik TNI AD di lingkungan Keraton Kasunanan ini
ingat benar saat Surakarta masih berbentuk Daerah Istimewa. Menurutnya,
saat kolonial masih berkuasa, Surakarta disebut Belanda merupakan
daerah Vorstenlanden atau daerah swapraja.
Waktu itu,
Surakarta dipimpin dua raja sekaligus, yaitu Paku Buwono (PB) XII dan
KGPAA Mangkunegoro. Keduannya diberi kekuasaan penuh untuk mengatur
daerahnya masing-masing.
"Saya masih ingat banget, waktu
itu Surakarta yang memimpin ada dua. Yaitu Sinuhun PB XII dan Sinuhun
Mangkunegoro VIII. Tapi biar dipimpin dua raja, bisa bekerja sama dengan
baik. Dan tidak ada masalah sama sekali. Kota Solo aman," jelas
Soehari, saat ditemui, di kediamannya, Selasa (20/8/2013).
Saat
Jepang masuk ke kota Solo, menurut Soehari selain mengukuhkan Surakarta
sebagai Daerah Istimewa dengan membiarkan Kasunanan Surakarta dan Pura
Mangkunegara diberi wewenang penuh. Jepang juga mengubah nama Surakarta
menjadi Kochi Sumotyookan.
"Habis itu saya sudah tidak tahu lagi.
Tahu-tahu, kalau sekarang mobil penyuluhan gitu, keliling kota. Dan
orang yang di mobil itu pada teriak-teriak kalau kekuasaan keraton dan
Pura Mangkunegara dicabut," terang Soehari yang mengaku saat itu baru
berumur 16 tahun.
Saat diumumkannya kekuasaan penuh Keraton
Surakarta dan Pura Mangkunegaran atas daerahnya dicabut, diakui Soehari
sempat membuat rakyat marah.
"Setiap mobil yang memberitahukan
kekuasaan Kasunanan dan Mangkunegaran dicabut berkeliling, rakyat selalu
melempari mobil itu," ujarnya.
Itu dilakukan karena rakyat Solo
marah dengan dicabutnya kekuasaan Keraton Surakarta dan Mangkunegaran.
Sedangkan Yogyakarta tidak dicabut. Malah sebaliknya Yogyakarta justru
ditetapkan menjadi Ibu Kota RI yang membuat warga Solo cemburu.
Usai
kekuasaan mengatur daerah sendiri dicabut, dari pihak pemerintah RI,
mendatangi para camat yang diangkat pihak Kasunanan maupun Pura
Mangkunegaran.
"Utusan pemerintah saat itu menawari para camat
yang diangkat Keraton Surakarta dan Mangkunegaran agar mau menjadi camat
di bawah pemerintah. Bagi yang tidak mau, diminta mundur. Dan Ayah saya
yang saat itu menjabat sebagai camat memilih mundur karena tidak mau
menghianati Mangkunegaran," pungkasnya.
No comments:
Post a Comment