VIVAnews -
Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS dalam sepekan terakhir.
Kurs jual rupiah bahkan pernah menyentuh Rp12.000 per dolar AS. Indeks
harga saham gabungan anjlok, meski kembali menguat dua hari terakhir.
Situasi ini mendorong Bank Indonesia bergerak cepat mengeluarkan
kebijakan lanjutan.
Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis, 29 Agustus 2013, memutuskan menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 50 basis poin. Suku bunga itu naik dari 6,5 persen menjadi 7 persen. Kebijakan itu diambil untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah. Bila tak segera diantisipasi, tekanan atas rupiah dikhawatirkan mengganggu laju pertumbuhan ekonomi. Sebelumnya, bank sentral mempertahankan BI Rate di level 6,5 persen.
Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI), Setyo Maharso, Jumat 30 Agustus 2013, menyatakan kondisi perekonomian saat ini tidak lebih buruk dari krisis pada 1998. Atau saat heboh krisis finansial global 2008 yang dimulai dari AS akibat negeri itu dihantam krisis subprime mortgage yang ditandai kebangkrutan beberapa lembaga keuangan berbasis properti. Saat itu justru ekonomi Indonesia tetap bertumbuh positif.
Itu sebabnya, Setyo yakin pasar properti tak akan terkena imbas gejolak dan tekanan ekonomi yang terjadi saat ini. Meskipun kini ada gejala krisis global lantaran Federal Reserve selaku bank sentral AS memberi sinyal memberlakukan kebijakan pengetatan program stimulus moneternya.
"Kami tetap optimis. Situasi sekarang beda dengan yang terjadi pada 1998," ujar Setyo kepada VIVAnews. Meski begitu, Setyo berharap pemerintah tetap perlu melakukan penanganan segera agar pasar tak terkena imbasnya kelak.
Permintaan properti, menurut Setyo, saat ini masih tinggi. Kenaikan BI Rate, dinilai tidak akan mengganggu pasar, terutama untuk segmen kelas menengah ke atas. Kondisi paling rawan adalah pada pasar menengah ke bawah. "Untuk yang MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) memang paling rentan dengan regulasi ini," kata Setyo.
Menurut Setyo, kenaikan BI Rate adalah kebijakan yang bersifat sementara atau jangka pendek. Sedangkan pembiayaan properti dalam bentuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sifatnya jangka panjang.
Oleh karena itu, kata Setyo, kenaikan BI Rate tidak berkaitan dengan kredit properti. Menurutnya, perbankan pun tidak akan serta merta menaikkan bunga KPR hanya karena BI Rate naik.
Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis, 29 Agustus 2013, memutuskan menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 50 basis poin. Suku bunga itu naik dari 6,5 persen menjadi 7 persen. Kebijakan itu diambil untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah. Bila tak segera diantisipasi, tekanan atas rupiah dikhawatirkan mengganggu laju pertumbuhan ekonomi. Sebelumnya, bank sentral mempertahankan BI Rate di level 6,5 persen.
Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI), Setyo Maharso, Jumat 30 Agustus 2013, menyatakan kondisi perekonomian saat ini tidak lebih buruk dari krisis pada 1998. Atau saat heboh krisis finansial global 2008 yang dimulai dari AS akibat negeri itu dihantam krisis subprime mortgage yang ditandai kebangkrutan beberapa lembaga keuangan berbasis properti. Saat itu justru ekonomi Indonesia tetap bertumbuh positif.
Itu sebabnya, Setyo yakin pasar properti tak akan terkena imbas gejolak dan tekanan ekonomi yang terjadi saat ini. Meskipun kini ada gejala krisis global lantaran Federal Reserve selaku bank sentral AS memberi sinyal memberlakukan kebijakan pengetatan program stimulus moneternya.
"Kami tetap optimis. Situasi sekarang beda dengan yang terjadi pada 1998," ujar Setyo kepada VIVAnews. Meski begitu, Setyo berharap pemerintah tetap perlu melakukan penanganan segera agar pasar tak terkena imbasnya kelak.
Permintaan properti, menurut Setyo, saat ini masih tinggi. Kenaikan BI Rate, dinilai tidak akan mengganggu pasar, terutama untuk segmen kelas menengah ke atas. Kondisi paling rawan adalah pada pasar menengah ke bawah. "Untuk yang MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) memang paling rentan dengan regulasi ini," kata Setyo.
Menurut Setyo, kenaikan BI Rate adalah kebijakan yang bersifat sementara atau jangka pendek. Sedangkan pembiayaan properti dalam bentuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sifatnya jangka panjang.
Oleh karena itu, kata Setyo, kenaikan BI Rate tidak berkaitan dengan kredit properti. Menurutnya, perbankan pun tidak akan serta merta menaikkan bunga KPR hanya karena BI Rate naik.
"Tidak ada hubungannya.
Toh jika BI Rate turun, apakah suku bunga KPR juga turun? Masa kalau BI
Rate naik lantas bunga KPR langsung naik. Saya rasa bank juga harus
bijak di sini," kata Setyo.
Hal senada diungkapkan Chief Executive Officer Lippo Homes, Ivan Budiono. Menurut Ivan, properti Indonesia tidak akan turun terkait kondisi ekonomi Indonesia saat ini. "Paling banter, properti Indonesia akan stagnan dalam beberapa waktu," kata Ivan kepada VIVAnews.
Ivan yang sudah menggeluti dunia properti bertahun-tahun ini mengungkapkan, gejolak krisis saat ini adalah siklus lima tahunan. Ancaman krisis yang dialami Indonesia saat ini tidak lebih parah dibanding beberapa siklus lalu.
Bahkan, menurut dia, kondisi saat ini dapat menjadi momentum paling tepat untuk membeli produk properti. Sebab, kenaikan harga tak akan terjadi seperti beberapa tahun belakangan ini.
Mengenai permintaan terhadap properti, dia menjelaskan, hanya akan melemah sekitar 10 persen. Namun, untuk daerah tertentu, Ivan mengungkapkan, permintaan masih akan tetap tinggi.
Kondisi itu kemungkinan terjadi di daerah Jakarta. Sebab, pasokan properti yang ada saat ini dinilai masih kurang jika dibandingkan permintaan yang akan datang.
Hal senada diungkapkan Chief Executive Officer Lippo Homes, Ivan Budiono. Menurut Ivan, properti Indonesia tidak akan turun terkait kondisi ekonomi Indonesia saat ini. "Paling banter, properti Indonesia akan stagnan dalam beberapa waktu," kata Ivan kepada VIVAnews.
Ivan yang sudah menggeluti dunia properti bertahun-tahun ini mengungkapkan, gejolak krisis saat ini adalah siklus lima tahunan. Ancaman krisis yang dialami Indonesia saat ini tidak lebih parah dibanding beberapa siklus lalu.
Bahkan, menurut dia, kondisi saat ini dapat menjadi momentum paling tepat untuk membeli produk properti. Sebab, kenaikan harga tak akan terjadi seperti beberapa tahun belakangan ini.
Mengenai permintaan terhadap properti, dia menjelaskan, hanya akan melemah sekitar 10 persen. Namun, untuk daerah tertentu, Ivan mengungkapkan, permintaan masih akan tetap tinggi.
Kondisi itu kemungkinan terjadi di daerah Jakarta. Sebab, pasokan properti yang ada saat ini dinilai masih kurang jika dibandingkan permintaan yang akan datang.
Mengenai pelemahan nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS, menurut dia, tidak akan berpengaruh
banyak. Sebab, selama ini, menurut Ivan, perusahaan selalu mendatangkan
bahan baku lokal.
Impor hanya dilakukan jika barang yang dicari membutuhkan kualitas tinggi dan tidak tersedia di Indonesia. "Misalnya untuk properti mewah, kami menggunakan bahan baku lantai yang diimpor. Tapi, kan itu tidak terlalu besar," katanya.
Selain itu, komponen imporlainnya, menurut dia, adalah peralatan sanitasi. Secara keseluruhan, Ivan mengungkapkan, besaran komponen impor dalam suatu proyek properti mungkin hanya sekitar 10 persen.
Oleh karena itu, ia mengungkapkan, pelemahan nilai tukar tidak akan berpengaruh banyak terhadap harga properti. "Kalau pengembang, seharusnya dalam situasi seperti ini, mereka harus launching. Namun, memang harus mengelola harga dan sebisa mungkin komponen impor disubstitusi," katanya.
Bunga KPR naik?Executive Vice President Coordinator Consumer Finance Bank Mandiri, Tardi, Jumat 30 September 2013, menyatakan respon atas kenaikan BI Rate adalah menaikkan suku bunga kredit, termasuk KPR.
"Suku bunga naik adalah suatu hal yang tak bisa dihindari, karena biaya dana juga naik. Mungkin September kami akan naikkan sebesar 50 basis poin," kata Tardi kepada VIVAnews.
Meski bunga kredit direncanakan naik, Mandiri tidak mau menurunkan target pertumbuhan kreditnya. Mandiri tetap mematok pertumbuhan kredit sebesar 20 persen. "Kami masih melihat supply dan demand, para developer juga begitu. Jadi sama-sama wait and see," kata Tardi.
Dengan menaikan suku bunga kredit sebesar 50 basis poin, Tardi melanjutkan, Mandiri tidak mengkhawatirkan potensi jumlah kredit macetnya atau non performing loan (NPL) menjadi lebih tinggi. Karena sudah pernah dilakukan uji coba kepada pasar, hasilnya bunga itu masih sesuai kemampuan bayar para nasabah.
Impor hanya dilakukan jika barang yang dicari membutuhkan kualitas tinggi dan tidak tersedia di Indonesia. "Misalnya untuk properti mewah, kami menggunakan bahan baku lantai yang diimpor. Tapi, kan itu tidak terlalu besar," katanya.
Selain itu, komponen imporlainnya, menurut dia, adalah peralatan sanitasi. Secara keseluruhan, Ivan mengungkapkan, besaran komponen impor dalam suatu proyek properti mungkin hanya sekitar 10 persen.
Oleh karena itu, ia mengungkapkan, pelemahan nilai tukar tidak akan berpengaruh banyak terhadap harga properti. "Kalau pengembang, seharusnya dalam situasi seperti ini, mereka harus launching. Namun, memang harus mengelola harga dan sebisa mungkin komponen impor disubstitusi," katanya.
Bunga KPR naik?Executive Vice President Coordinator Consumer Finance Bank Mandiri, Tardi, Jumat 30 September 2013, menyatakan respon atas kenaikan BI Rate adalah menaikkan suku bunga kredit, termasuk KPR.
"Suku bunga naik adalah suatu hal yang tak bisa dihindari, karena biaya dana juga naik. Mungkin September kami akan naikkan sebesar 50 basis poin," kata Tardi kepada VIVAnews.
Meski bunga kredit direncanakan naik, Mandiri tidak mau menurunkan target pertumbuhan kreditnya. Mandiri tetap mematok pertumbuhan kredit sebesar 20 persen. "Kami masih melihat supply dan demand, para developer juga begitu. Jadi sama-sama wait and see," kata Tardi.
Dengan menaikan suku bunga kredit sebesar 50 basis poin, Tardi melanjutkan, Mandiri tidak mengkhawatirkan potensi jumlah kredit macetnya atau non performing loan (NPL) menjadi lebih tinggi. Karena sudah pernah dilakukan uji coba kepada pasar, hasilnya bunga itu masih sesuai kemampuan bayar para nasabah.
Melambat
Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, Jumat 30 Agustus 2013, menyatakan, kenaikan BI Rate akan berdampak pada turunnya pertumbuhan kredit perbankan.
"Sebetulnya, kalau kami naikkan bunga ini, nanti akan berdampak langsung pada bank-bank yang tumbuh terlalu tinggi. Mungkin mereka sudah paham, bahkan pertumbuhan kredit tidak di atas 20 persen," ujar Agus di Gedung BI, Jakarta.
Menurut Agus, kenaikan BI Rate justru akan berdampak positif bagi industri perbankan. Sebab, bank akan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit, sehingga dapat menyehatkan likuiditas perbankan.
Agus tidak dapat memastikan kapan kenaikan BI Rate ini akan direspons oleh kalangan perbankan dengan menaikkan suku bunga kredit dan simpanan.
Dia menegaskan, BI telah melakukan tes pasar untuk melihat kondisi kesehatan perbankan. "Rasio kecukupan modal baik. NPL dan likuiditas baik," kata Agus.
Sementara itu, Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan, kenaikan BI Rate tidak akan menekan sistem perbankan, meskipun kalangan perbankan kemungkinan menurunkan pertumbuhan kredit.
"Lending growth mungkin turun menjadi sekitar 18 persen," kata Perry.
Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, Jumat 30 Agustus 2013, menyatakan, kenaikan BI Rate akan berdampak pada turunnya pertumbuhan kredit perbankan.
"Sebetulnya, kalau kami naikkan bunga ini, nanti akan berdampak langsung pada bank-bank yang tumbuh terlalu tinggi. Mungkin mereka sudah paham, bahkan pertumbuhan kredit tidak di atas 20 persen," ujar Agus di Gedung BI, Jakarta.
Menurut Agus, kenaikan BI Rate justru akan berdampak positif bagi industri perbankan. Sebab, bank akan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit, sehingga dapat menyehatkan likuiditas perbankan.
Agus tidak dapat memastikan kapan kenaikan BI Rate ini akan direspons oleh kalangan perbankan dengan menaikkan suku bunga kredit dan simpanan.
Dia menegaskan, BI telah melakukan tes pasar untuk melihat kondisi kesehatan perbankan. "Rasio kecukupan modal baik. NPL dan likuiditas baik," kata Agus.
Sementara itu, Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan, kenaikan BI Rate tidak akan menekan sistem perbankan, meskipun kalangan perbankan kemungkinan menurunkan pertumbuhan kredit.
"Lending growth mungkin turun menjadi sekitar 18 persen," kata Perry.
Harga properti tetap naik
Data survei triwulan II-2013 Bank Indonesia menyebutkan indeks harga properti residensial meningkat 2,19 persen (quarter to quarter/qtq) atau 12,11 persen (year over year/yoy). Tekanan harga properti residensial diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan III-2013. Kenaikan harga bahan bangunan dan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi faktor pendorong kenaikan harga properti.
Permintaan masyarakat atas rumah tinggal menyebabkan volume penjualan properti residensial pada triwulan II-2013 meningkat sebesar 18,08 persen (qtq) untuk semua tipe rumah. Tipe rumah menengah dan kecil mengalami kenaikan penjualan signifikan, masing-masing sebesar 23,47 persen dan 23,43 persen.
Perkembangan sektor properti tercermin juga dari peningkatan penyaluran KPR dan KPA (kredit pemilikan apartemen) perbankan kepada sektor properti yang signifikan pada triwulan II-2013, sebesar 12,33 persen (qtq). Angka ini ebih tinggi dibandingkan pertumbuhan total kredit perbankan sebesar 7,10 persen (qtq).
Dari total KPR yang dikucurkan oleh bank dalam kurun Januari hingga Juni 2013, sebanyak 4,13 persen memanfaatkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Namun demikian jika dibandingkan dengan target pencairan, KPR bersubsidi FLPP untuk golongan MBR mengalami percepatan pemanfaatan selama triwulan II-2013.
Hal ini juga terlihat dari hasil survei yang menunjukkan bahwa penggunaan KPR masih dominan dilakukan oleh konsumen sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam pembelian properti, dengan suku bunga rata-rata antara 9 persen hingga 12 persen.
Data survei BI itu menunjukkan sebagian besar konsumen (75,45 persen) masih memilih KPR sebagai fasilitas utama melakukan transaksi pembelian properti residensial, terutama pada rumah tipe kecil. Namun, pemanfaatan KPR pada triwulan II-2013 tercatat menurun jika dibandingkan triwulan sebelumnya (76,46 persen).
Data survei triwulan II-2013 Bank Indonesia menyebutkan indeks harga properti residensial meningkat 2,19 persen (quarter to quarter/qtq) atau 12,11 persen (year over year/yoy). Tekanan harga properti residensial diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan III-2013. Kenaikan harga bahan bangunan dan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi faktor pendorong kenaikan harga properti.
Permintaan masyarakat atas rumah tinggal menyebabkan volume penjualan properti residensial pada triwulan II-2013 meningkat sebesar 18,08 persen (qtq) untuk semua tipe rumah. Tipe rumah menengah dan kecil mengalami kenaikan penjualan signifikan, masing-masing sebesar 23,47 persen dan 23,43 persen.
Perkembangan sektor properti tercermin juga dari peningkatan penyaluran KPR dan KPA (kredit pemilikan apartemen) perbankan kepada sektor properti yang signifikan pada triwulan II-2013, sebesar 12,33 persen (qtq). Angka ini ebih tinggi dibandingkan pertumbuhan total kredit perbankan sebesar 7,10 persen (qtq).
Dari total KPR yang dikucurkan oleh bank dalam kurun Januari hingga Juni 2013, sebanyak 4,13 persen memanfaatkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Namun demikian jika dibandingkan dengan target pencairan, KPR bersubsidi FLPP untuk golongan MBR mengalami percepatan pemanfaatan selama triwulan II-2013.
Hal ini juga terlihat dari hasil survei yang menunjukkan bahwa penggunaan KPR masih dominan dilakukan oleh konsumen sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam pembelian properti, dengan suku bunga rata-rata antara 9 persen hingga 12 persen.
Data survei BI itu menunjukkan sebagian besar konsumen (75,45 persen) masih memilih KPR sebagai fasilitas utama melakukan transaksi pembelian properti residensial, terutama pada rumah tipe kecil. Namun, pemanfaatan KPR pada triwulan II-2013 tercatat menurun jika dibandingkan triwulan sebelumnya (76,46 persen).
No comments:
Post a Comment