Sunday, 1 September 2013

Tambang Salah Urus, Negara Rugi Rp 6,7 Triliun

TEMPO.CO, Jakarta--Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas mengatakan pertambangan mineral dan batubara (Minerba) yang tidak dikelola secara optimal membuat negara merugi Rp 6,7 triliun dari 2003 hingga 2013. Kerugian negara itu timbul karena investor tidak memenuhi kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa iuran tetap maupun produksi (royalti) di daerah. Terdapat pula potensi kerugian negara akibat tidak diberdayakannya royalti sebesar US$ 2,22 miliar pada 2010-2012 dan US$ 24,66 pada lima mineral terbesar yakni nikel, biji besi, bauksit, timbal, serta mangaan pada 2011.
"Ada ironi dalam pengelolaan sumber daya alam. Indonesia adalah satu dari lima negara besar produsen minerba dengan ekspor 370 juta ton pertahun, tetapi sumber daya alam ini tidak dikelola secara sistematis, sehingga terindikasi lebih pada eksploitasi," ujar Busyro saat menggelar jumpa pers tentang diskusi hasil kajian KPK tentang Minerba yang dilakukan tertutup di kantornya, Kamis, 29 Agustus 2013. Dalam pemaparan tersebut hadir pula Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswoutomo dan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany.
Mirisnya, kata Busryo, pelanggaran tidak disertai dengan penegakan sanksi administratif berupa pencabutan izin investasi maupun sanksi pidana. Sebab lalulintas ekspor mineral dan batubara tidak bisa dikontrol dengan baik. Kondisi ini tercipta karena munculnya pelabuhan-pelabuhan tak berizin alias pelabuhan tikus yang sulit dimasuki pemungut pajak.
Masalah lainnya adalah data pertambangan antara pemerintah daerah dan Diretorat Jenderal Pajak tidak singkron. Sebab, desentralisasi aturan membuat pemerintah daerah berwenang menerbitkan izin pertambangan.
KPK, kata Busyro, merekomendasikan kebijakan teknis yang harus dilalui oleh Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun Kementerian Keuangan untuk menghindari masalah tersebut. Rekomendasi yang tercatat dalam hasil kajian KPK di antaranya, Kementerian ESDM harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dalam penyetoran royalti, menerbitkan aturan tentang persyaratan pembayaran royalti, serta aturan tentang batas waktu pembayaran royalti.
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo, mengakui lemahnya pemerintah mengontrol pelabuah tikus yang jumlahnya mencapai ribuan. Sehingga kebocoran ekspor biji mineral dan batubara tidak terkendali. Namun Susilo berjanji akan bekerjasama dengan KPK untuk memberantas pelabuhan tikus tersebut. "Penanganannya harus serius dan bersama-sama," ujar dia.
Ia meminta waktu selama satu bulan kepada Komisi Antirasuah untuk mendata kembali izin usaha pertambangan yang telah diterbitkan daerah. Kebijakan ini sekaligus mengerucut pada penegakan reward and punishment bagi mereka yang melanggar dan berprestasi. "Kami akan lakukan aksi dari rekomendasi KPK. Setiap tiga bulan, kami akan lapor apa saja yang sudah dilaksanakan," ucapnya.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany menambahkan instansinya tidak memiliki data tentang jumlah pertambangan minerba karena kewenangan perhitungan ada di instansi teknis atau daerah. Dirjen Pajak, kata dia, hanya memverifikasi data yang dilaporkan daerah. "Tetapi karena izin diterbitkan daerah, kami mengalami perosalan sulitnya mendapatkan data," ucapnya.

No comments:

Post a Comment